top of page
Search

Perlukah Nasionalisasi Blok-Blok Migas?

  • Writer: Deo Pambudi
    Deo Pambudi
  • Sep 7, 2018
  • 4 min read

Updated: Nov 19, 2018


Kantor Kementerian ESDM

Isu energi seakan tak pernah habisnya menjadi topik yang hangat untuk dibahas, terutama bagi para pegiat energi. Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Mulai dari migas, mineral, batubara sampai geothermal. Semuanya ada di Indonesia. Sayangnya, tidak semua kekayaan alam dan energi itu dikelola sepenuhnya oleh Indonesia.


Dewasa ini, kita sering mendengar peralihan blok yang telah habis massa kontraknya dan kerap kali dihubungkan dengan isu nasionalisasi migas, yang paling panas adalah peralihan blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia ke Pertamina pada tahun 2021. Isu nasionalisasi ini sudah didengungkan sejak lama, bahkan telah dilecut semangatnya oleh para laskar minyak ketika merebut kilang-kilang pada saat agresi militer oleh Belanda. Oleh karenanya, alangkah lebih baik jika kita menelisik lebih dalam apa itu nasionalisasi migas dan bagaimana serta seberapa pentingkah itu diterapkan sekarang.

Rokan War

Sebelum lebih jauh, kita coba mundur kebelakang melihat bagaimana kondisi sekarang bisa terjadi. Amanat konstitusi telah jelas pada pasal 33 ayat 2 UUD 1945 berbunyi “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara“ serta ayat 3 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat tersebut telah diupayakan pada massa Presiden Soekarno melalui UU No 44 tahun 1960 dan diperkuat dengan dikeluarkannya Pasal 14 UU №8 tahun 1971 yang aturan tersebut intinya adalah pengelolaan migas dilakukan sepenuhnya oleh Negara. Namun, pada massa kepemimpinan Presiden Megawati, UU №8 tahun 1971 dihapus dan diganti dengan UU №22 tahun 2001 atau lebih dikenal UU Migas. Dengan UU tersebut, status Pertamina sebagai perusahaan Negara diamputasi dan fungsi pengawasan dan pengendalian yang awalnya dilakukan pertamina diserahkan kepada BP Migas. Keberadaan UU Migas inilah yang menjadi awal kelam industri migas Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya pembatalan beberapa pasal UU Migas tersebut pada tahun 2003 oleh MK dan dibubarkannya BP Migas pada tahun 2012 karena tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan masih banyak hal lain yang membuat pihak asing menjamur di negeri ini.

Anjungan Minyak Lepas Pantai

Baiklah, yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang, mari kita lihat peluang apa yang bisa kita maksimalkan untuk memperbaiki kondisi saat ini. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, hingga 2024 ada sekitar 32 blok yang akan habis massa kontraknya dan pada tahun 2018 ini ada 8 blok. Salah satunya adalah blok Rokan yang telah dilepas ke Pertamina pada tahun 2021 nanti. Blok Rokan sendiri termasuk kedalam giant field di Indonesia dengan produksi sekitar 210.000 bopd yang telah dikuasai asing lebih dari 50 tahun. Itulah yang membuat hasrat kita sebagai pegiat energi negeri semakin menggebu-gebu dalam menasionalisasikan blok-blok migas tersebut. Namun timbul suatu pertanyaan, nasionalisasi seperti apa yang dimaksud?


Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat regulasi yang ada saat ini. Kita tahu bahwa pada bulan mei 2018 kemarin Menteri ESDM mengeluarkan Permen ESDM №23 tahun 2018 tentang pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi yang akan berakhir massa kontrak kerja samanya. Pada pasal 2, tertulis bahwa kontraktor eksisting diberi prioritas lebih dibandingkan Pertamina selaku BUMN Migas. Walaupun pada akhirnya pada proposal Blok Rokan, dimenangkan oleh Pertamina karena alasan komersial belaka. Namun, terlihat bahwa aturan yang ada sekarang tidak sepenuhnya mendukung usaha nasionalisasi blok-blok migas di Indonesia. Jadi, apakah sebenarnya kita memang ingin mengusahakan nasionalisasi blok-blok migas ini?


Tentu, dalam praktiknya proses nasionalisai blok-blok migas ini tidak mudah dilakukan. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi Pertamina selaku BUMN Migas negeri ini. Dan kalau boleh jujur, nasionalisasi migas ini pun sebenarnya sudah bisa dibilang sedikit terlambat. Dikarenakan banyak lapangan yang sudah mature atau tidak pada kondisi peak-nya. Namun, dirasa tetap perlu usaha untuk mengelola sumber daya alam negeri sendiri. Mengapa demikian? Pertama, Indonesia atau Pertamina harus berani mengambil tantangan dan menjadi wadah belajar teknologi baru dalam mengelola mature field yang kelak juga akan berguna. Dari proses nasionalisasi inilah nantinya akan ada perurunan dan sharing teknologi antara perusahaan minyak asing dan Pertamina. Kedua, mau sampai kapan? Pertamina harus tetap mengupayakan jangan sampai perusahaan-perusahaan asing justru mengerok habis sampai nol kekayaan alam kita. Tidak ada kata terlambat bagi Negara ini. Ketiga, wujud nasionalisme dan cinta tanah air. Tidak perlu dipertanyakan lagi, BUMN Migas kita harus berjaya di tanah sendiri dan telah di amanatkan dalam konstitusi kita. Pertamina dirasa dan sudah terbukti mampu mengelola lapangan migas yang sebelumnya dikelola pihak asing. Contoh saja ONWJ (Offshore North West Java) dan WMO (West Madura Offshore) serta Mahakam baru-baru ini.

Sucker Rod Pump

Lalu bagaimana? Menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Nasionalisasi sendiri dapat dengan mudah diartikan sebagai usaha pemerintah untuk mengelola dan merebut kembali blok-blok migas yang sekarang dikuasai asing. Namun melihat kondisi dan regulasi sekarang, apakah nasionalisasi seperti itu yang dimaksud? Mungkin jawabannya iya, tapi tidak dalam jangka pendek melainkan berproses. Terlihat dengan dikeluarkannya Permen ESDM №23 Tahun 2018 ini, menggambarkan bahwa Indonesia masih butuh banyak investor-investor dan juga demi menjalankan aktivitas hulu maupun hilir migas ditengah kondisi pasar yang tidak sejaya tahun 2008–2012. Indonesia ingin mencapai optimalisasi kekayaan yang dimilikinya dengan ditambah penemuan cadangan baru. Kita tau bahwasanya banyak potensi besar yang ada di bagian timur Indonesia dan ini menjadi peluang serta tantangan dalam memulai nasionalisasi blok-blok migas di Indonesia. Serta, diharapkan bentuk regulasi migas di Indonesia segera diperbaiki dan disahkan agar mampu mendorong perkembangan migas di Indonesia, bukan malah sebaliknya. Pertamina persero juga diharapkan menjadi prioritas pemain utama dalam migas Indonesia serta perusahaan lokal seperti jasa kontraktor dan sektor penunjang lainnya dapat diberdayakan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nasionalisasi migas di Indonesia sedang tahap dimana bukan berarti harus anti asing. Tetapi yang harus dilakukan adalah agar Indonesia dapat memosisikan dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas blok-blok migas tersebut. Salam Energi!

 
 
 

Comments


bottom of page