top of page
Search

Kopi (Sore) Malam

  • Writer: Deo Pambudi
    Deo Pambudi
  • Sep 15, 2019
  • 4 min read

Updated: Sep 15, 2019


Massa Kopi Sore 1.0

Selamat berjumpa kembali, dikesempatan kali ini saya ingin sharing tentang kegiatan di divisi yang sedang saya sibuki hehehe. Disini, kami mengadakan kopi sore yang dimana kami membahas isu berkaitan dengan ketahanan energi migas di Indonesia pada sore hari di himpunan baru. Credit to massa patra yang hadir, terkhususnya staff-staff kastrat, terkhususnya lagi Ariel dan Habib yang menjadi pembicara dan yang membuat notulensi.


Kopi Sore 1.0 Ketahanan Energi Indonesia


Ketahanan energi merupakan isu strategis yang menjadi bahan kajian dalam acara Kopi Sore Divisi Kajian Strategis HMTM “PATRA” ITB pada jumat kemarin, 13 September 2019. Presentasi menganai topik tersebut dipaparkan oleh Habib (12217080) dan Ariel (12217029) selaku staf Kajian Strategis. Bentukan acara Kopsor ini, tidak hanya berupa presentasi saja melainkan juga diskusi dan sharing bersama seluruh massa yang hadir, serta diakhiri dengan games seru yang menguji pengetahuan massa terkait keenergian.


EBT (Energi Baru Terbarukan) menjadi bagian pertama yang dibahas dalam acara ini. Menurut massa yang hadir, pengembangan EBT di Indonesia perlu ditinjau dari aspek ekonominya, termasuk nilai investasi yang telah terealisasi di Indonesia. Indonesia punya banyak potensi EBT yang bisa dikembangkan. Salah satunya ialah energi panas bumi, di mana Indonesia memiliki 40% dari cadangan dunia. Terlebih lagi energi panas bumi ini memiliki banyak keuntungan dibanding energi terbarukan lainnya. Energi panas bumi bersifat reliable karena konstan sepanjang waktu, tidak seperti energi angin dan matahari yang bersifat intermittent (bergantung cuaca dan musim).


Setelah EBT, pembahasan dilanjutkan ke realita industri migas di Indonesia. Dipaparkan bahwa terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi migas nasional sehingga impor menjadi langkah yang diambil pemerintah. Menurut massa patra, kebijakan impor bukan berarti buruk karena memang perlu dilakukan untuk menutupi defisit, dengan catatan pemerintah harus terus melakukan upaya peningkatan produksi migas nasional. Masalah ini sebenarnya tidak tidak hanya bisa diselesaikan dari sisi produksi saja, melainkan juga dari sisi konsumsinya. Perlu dilakukan edukasi juga mengenai pengefisienan pemakaian energi bagi seluruh masyarakat sehingga bisa mengurangi defisit. Industri hilir migas juga perlu diperhatikan karena migas dari hasil produksi tidak akan sampai ke konsumen tanpa melewati industri ini. Pemerintah tengah menjalankan megaproyek RDMP (Refinery Development Master Plan) untuk membangun kilang-kilang minyak baru di beberapa daerah di Indonesia. Dipaparkan bahwa cadangan migas Indonesia akan habis dalam waktu 11-12 tahun mendatang jika tidak ditemukan cadangan baru. Meskipun demikian, menurut massa, angka cadangan yang beredar saat ini sebenarnya merupakan angka yang relatif karena isu akan habisnya minyak di Indonesia sudah pernah berhembus sejak beberapa dekade yang lalu dan pada kenyataannya sampai saat ini belum habis. Masih banyak hidrokarbon yang sebenarnya berpotensi menjadi cadangan tetapi belum terjangkau secara teknologi saat ini. Kita tidak perlu khawatir sebab perusahaan-perusahaan migas tengah mengembangkan teknologi eksploitasi migas mereka, misalnya Chevron yang akan menerapkan teknologi mereka dalam proyek IDD (Indonesia Deepwater Development) dan Baker Hughes yang baru saja meluncurkan teknologi terbarunya yang bisa memangkas biaya proyek migas bawah laut.


Pembahasan realita industri migas di Indonesia selanjutnya difokuskan pada blok-blok migas raksasa yang ada di Indonesia, yaitu Blok Rokan dan Blok Cepu. Dipaparkan bahwa sejak dimulainya masa transisi dari Chevron ke Pertamina, produksi migas di Rokan terus menurun sehingga perlu segera diterapkan EOR pada lapangan-lapangan di blok ini. Menurut massa, penurunan produksi yang terjadi bukan sepenuhnya salah Pertamina, melainkan juga ada tindakan-tindakan tidak kooperatif dari operator sebelumnya yang dalam kasus ini adalah Chevron. Seharusnya Chevron tetap berupaya maksimal dalam mengantisipasi penurunan produksi yang terjadi. Ada informasi bahwa perusahaan ini justru menggunakan dana yang besar secara tidak efisien untuk hal tertentu karena masih berlakunya skema cost recovery. Kejadian serupa juga terjadi pada transisi Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Menurut massa, perlu adanya regulasi atau kontrak bisnis yang lebih baik ke depannya agar hal seperti ini tidak terulang lagi. Berbeda dengan Blok Rokan, Blok Cepu justru terus mengalami peningkatan produksi. Bahkan produksi saat ini yakni 220 bph telah jauh di atas angka yang diajukan sebelumnya dalam POD yaitu 165 bph. Pembagian hasil dalam kasus seperti ini tetap didasarkan pada produksi migas kenyataan dan bukan berdasarkan angka produksi di POD sehingga tidak merugikan negara. Kebijakan SKK yang terus menaikan target produksi blok ini perlu dievaluasi lagi karena jika produksinya dipaksakan justru bisa merusak reservoir.


Setelah blok-blok migas raksasa, pembahasan dilanjutkan pada Blok Masela yang ternyata merupakan blok dengan nilai investasi terbesar sepanjang sejarah industri migas Indonesia. Satu hal yang menjadi sorotan massa pada Blok Masela ialah siapa saja sebenarnya calon pembeli dari gas yang akan dihasilkan dari blok ini. Kita tahu bersama bahwa gas tidak bisa disimpan sehingga setelah diproduksikan harus langsung disalurkan kepada pembeli. Berdasarkan informasi yang ada, PT Kaltim Methanol Industri dan PT PGN akan menjadi pembeli gas Blok Masela. Ada pendapat dari massa bahwa jika ternyata hidrokarbon yang diproduksikan blok ini nantinya berupa kondensat, perlu dilakukan kontrol yang baik agar tidak terjadi masalah yang disebut liquid loading. Dampak dari masalah ini bisa sangat besar hingga membuat daerah blok masela ditinggalkan dan menjadi kota mati.


Bahasan terakhir dalam diskusi ini ialah tantangan industri migas di Indonesia. Menurut massa, salah satu yang menjadi tantangan utama industri migas Indonesia ialah memperbaiki regulasi. RUU Migas yang tak kunjung rampung merupakan bukti ketidakseriusan pemerintah khususnya DPR dalam mengurusi regulasi. Regulasi yang buruk inilah yang memperkeruh iklim investasi migas di Indonesia. Belum adanya pemanfaatan unconventional resource di Indonesia juga merupakan akibat dari masalah regulasi ini. Hingga saat ini, regulasi di Indonesia belum secara spesifik mengatur unconventional sehingga investor enggan untuk masuk. Di Amerika pemanfaatan unconventional resource telah dilakukan secara besar-besaran, sementara di Indonesia belum ada sama sekali. Dibalik tantangan-tantangan di industri migas Indonesia saat ini, massa patra yakin bahwa akan selalu ada langkah-langkah solutif yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasinya. Salah satu contohnya ialah SKK Migas berencana melakukan open data untuk menarik investor melakukan eksplorasi di Indonesia.


 
 
 

Comments


bottom of page