BBM Satu Harga
- Deo Pambudi
- May 19, 2018
- 3 min read
Updated: Nov 19, 2018

BBM Satu Harga. BBM yaitu singkatan dari Bahan Bakar Minyak sedangkan “Satu Harga” memiliki arti kesamaan harga jual di seluruh Indonesia. Program BBM Satu Harga ini dijalankan karena harga jual BBM di wilayah 3T ( Terpencil,Terluar,Terdepan) sangat tinggi dibandingkan wilayah non-3T. Hal itu disebabkan masalah topografi yang membuat biaya transportasi naik. Imbas dari mahalnya harga BBM di wilayah 3T tersebut membuat barang kebutuhan sehari-hari menjadi mahal. Oleh karena itu, pemerintah mengusahakan keadilan yang juga sebagai perwujudan dari sila ke lima Pancasila yang berbunyi “ Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” melalui program BBM Satu Harga ini.
Program BBM Satu Harga dilakukan secara bertahap dari rentang 2017 hingga 2019. Landasan hukum program ini yaitu Perpres №191/2014 dan Permen ESDM №39/2016. Program ini pertama kali dimulai pada 18 Oktober 2016 di Yahukimo yaitu salah satu kabupaten di Papua. Kabupaten ini memang memiliki persoalan topografi yang sulit seperti kebanyakan wilayah di barisan Pegunungan Tengah. Pada tahun 2018 ini, program BBM satu harga pertama kali dilaksanakan di Kabupaten Nunukan, Kecamatan Seimenggaris, Provinsi Kalimantan Utara atau perbatasan Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya, masyarakat harus membeli BBM di wilayah Tarakan dengan harga yang cukup tinggi. Namun sekarang sudah bisa membeli BBM dengan harga yang sama dengan di daerah lain. Kendala-kendala yang dihadapi dalam program BBM harga ini yaitu seperti adanya pengecer yang memborong BBM di penyalur BBM satu harga untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Juga, lokasi yang ditetapkan pemerintah pusat kerap kali tidak cocok dengan pemerintah daerah.

PT Pertamina (Persero) diserahkan tanggung jawab mengeksekusi program pemerintah ini. Presiden Indonesia, Joko Widodo, meminta agar BBM satu harga sudah bisa berlaku di 150 titik di kawasan 3T hingga 2019. Sepanjang 2017 ditargetkan mampu mencakup 54 titik lokasi. Sisanya, sebanyak 50 titik di 2018 dan 46 titik di 2019. Konsekuensi yang harus diterima Pertamina adalah peningkatan beban operasional. Hingga akhir tahun 2017, ditaksir beban operasional membengkak Rp 800 miliar serta diproyeksikan menjadi Rp 3 triliun apabila target 150 titik tercapai. Persoalan membengkaknya biaya operasional ini sering dikaitkan dengan kantong Pertamina yang makin bobol. Namun, bila melihat keuntungan bersih Pertamina yaitu Rp 40 triliun, maka uang Rp 3 triliun tak terlalu seberapa. Mengutip pendapat Presiden Joko Widodo mengenai biaya PT Pertamina (Persero) untuk program Bahan Bakar Minyak (BBM) satu harga yang senilai Rp800 miliar dianggap sebagai harga yang wjar. Sebab, tanggungan itu berbuah harga terjangkau bagi masyarakat di wilayah pedalaman. Menurut dia, nilai beban biaya itu tak ada apa-apanya dibanding subsidi BBM yang digelontorkan pemerintah pada masa terdahulu. Dalam APBN 2005 contohnya, realisasi subsidi BBM berada di angka Rp95,99 triliun. Angka itu mencapai puncak pada 2013 dengan nilai mencapai Rp299,83 triliun. Dengan data tersebut, ia menilai tanggungan biaya untuk BBM satu harga memberikan banyak manfaat ketimbang mudharatnya.
Logika BBM satu harga memang sederhana, saat sebuah produk bisa dijual harga sekian di suatu tempat, mengapa di tempat lain tak sama. Namun, bila melihat perspektif bisnis atau komersial, perbedaan harga akan sangat wajar bila mempertimbangkan jarak dan biaya distribusi.Namun, dalam konteks Pertamina sebagai BUMN yang melekat dengan kepentingan publik, semua itu bisa berubah. Apalagi program ini digulirkan oleh pemerintah dengan segala motivasinya hingga 2019. Setidaknya bila mengacu dari landasan hukum program ini, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, juga Peraturan Menteri ESDM №39 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan Secara Nasional, bisa dikupas dasarnya. Perpres tersebut sangat berkaitan erat dengan UU APBN, sebab menyangkut alokasi dana BBM bersubsidi. Perpres menyatakan bahwa penugasan penyediaan dan pendistribusian Jenis BBM Khusus diberikan kepada PT Pertamina (Persero). Adapun besarnya alokasi dan volume penugasan ditetapkan oleh Badan Pengatur dalam hal ini BPH Migas.

Keberadaan Perpres dan Permen dalam kebijakan BBM satu harga bisa saja diubah bila ada penguasa baru atau kondisi tertentu. Sebab, apabila dalam perjalanannya, kebijakan subsidi pada APBN berubah, bisa saja program BBM satu harga ini tidak berlanjut. Target penyelesaiannya hingga 2019 memang bisa menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan ini bisa berlanjut bila Jokowi tak lagi berkuasa?
Aspek lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah soal kebijakan ini berimplikasi pada APBN. Meski sejak awal, Presiden Jokowi ingin kebijakan BBM satu harga tak membebani APBN. Namun, secara tidak langsung program ini akan berimplikasi terhadap APBN, hal ini disebabkan karena terkikisnya keuntungan Pertamina, akibatnya setoran kepada pemerintah (APBN) berkurang. Namun masih dapat ditanggulangi dengan pendapatan Pajak yang sangat besar.
Semoga program BBM Satu Harga ini dapat dijalankan seterusnya oleh pemerintah dikarenakan ini adalah salah satu dari lima nilai dasar Negara kita di Pancasila yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebab bila tidak dijalankan akan mempersulit saudara-saudara kita wilayah terluar akibat harga BBM yang mahal dan berdampak kebanyak hal.
Oleh : Deo Pambudi / 12216093
Sumber referensi :
Kommentare